Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suyatno mengungkapkan, 3.150 PTS itu merupakan anggota Aptisi. Dari keseluruhan PTS itu, diperkirakan akan ada 2,5 juta mahasiswa. "Mereka sudah mendeklarasikan diri menolak surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) No 152 dan tidak takut jika diberikan sanksi oleh Kemendikbud," kata Suyatno di Jakarta kemarin.
Suyatno menjelaskan, PTS memiliki kewenangan menolak kebijakan itu. Kelulusan mahasiswa PTS ditentukan oleh pengelola kampus karena ada aturan otonomi kampus. "Sejak zaman Malik Fajar (mantan Mendikbud) kami boleh meluluskan mahasiswa sendiri tanpa ada persetujuan dari Kemendikbud. Lagipula buat apa dipaksakan.Kalau dipaksakan, malah mereka akan membuat karya ilmiah asalasalan," tandasnya.
Rektor UHAMKA ini menyatakan, bila perlu, Kemendikbud harus menunda kebijakan tersebut sesudah ada perbaikan sistem dan dukungan peralatan. Ratusan ribu karya ilmiah yang akan dikirim tidak akan mudah tertampung dalam sistem jurnal ilmiah dengan bandwith dan akses yang ada saat ini. Apalagi, infrastruktur kampus di Indonesia berbeda satu sama lain.
"Contohnya di Papua saja peralatan komputer masih sangat terbatas,"katanya. Selain itu, PTS juga menolak persyaratan kelulusan bagi mahasiswa S-1 tersebut karena akan menghambat kelulusan. Peraturan perundangan yang ada saat ini sudah menegaskan bahwa mahasiswa diperbolehkan lulus jika sudah memenuhi jumlah satuan kredit semester (SKS) yang ditentukan dan pembuatan skripsi.
Ada pula kampus yang tidak mensyaratkan pembuatan skripsi sebagai penentu kelulusan. Karena itu,Suyatno meminta agar kebijakan ini ditunda terlebih dulu sesudah ada penambahan infrastruktur yang disediakan Kemendikbud, tidak hanya untuk perguruan tinggi negeri, tapi juga untuk swasta. "Selama ini PTS dianaktirikan. Lalu tidak ada angin tidak ada hujan,Kemendikbud mengeluarkan surat edaran tersebut.
Kami pun tidak pernah dibina,yang ada hanya pembinasaan saja," ungkapnya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menjelaskan, jika tidak dikaitkan dengan kelulusan, kebijakan itu tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap dunia pendidikan tinggi.Kebijakan pemerintah harus dikaitkan dengan sistem yang sudah berjalan.
"Kalau tidak dikaitkan dengan persyaratan kelulusan, akan dipakai untuk apa? Tidak akan ada konsekuensinya nanti jika tidak kami paksakan sebagai persyaratan kelulusan," ucap Nuh. Mantan rektor ITS ini menjelaskan, dinamakan jurnal ilmiah karena jika memakai nama lain, karya mahasiswa tersebut tidak akan berarti apa-apa dan akan sampai di gudang." Justru kita akan biasakan mereka untuk menulis sehingga tidak gagap lagi saat harus melanjutkan S-2 atau S-3," paparnya.
Mantan menkominfo ini juga mengungkapkan, banyak manfaat yang bisa didapat mahasiswa dengan membuat jurnal ilmiah. Salah satunya bisa menjadi fasilitas untuk meningkatkan kemampuan keilmuan. Dalam membuat karya ilmiah atau jurnal mengenai sebuah topik, mahasiswa akan mencari referensi.
"Ketika mahasiswa itu menemukan ide tulisan tersebut sudah pernah digunakan, mereka pun akan mencari ide lain,"ucapnya. Nuh menyatakan, kebijakan ini juga dapat digunakan untuk meminimalisasi tindakan plagiat.Ketika tulisan mereka dipublikasikan, akan memudahkan mahasiswa lain yang ingin membuat penelitian untuk menghindari topik yang sama.
http://www.seputar-indonesia.com/edisice...ew/470213/
(author unknown) 17 Feb, 2012
Mr. X 17 Feb, 2012
-
Source: http://andinewsonline.blogspot.com/2012/02/3150-pts-tolak-jurnal-ilmiah.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar